Selasa, 13 Juli 2021

FAHRENHEIT 451 Ray Bradbury



Sebenarnya ini novel bagus. Tapi, kalau lagi sedih atau mood nggak enak, sebaiknya tunda dulu bacanya. 

 Saya baca ini karena Ray Bradbury berkali-kali disebut dalam novel Words in Deep Bluenya Cath Crowley. Wajar sih karena sama-sama bercerita tentang buku. 

 Fahrenheit bercerita tentang Guy Montag, seorang petugas kebakaran. Iya, petugas kebakaran, bukan pemadam kebakaran. Tugasnya membakar buku, semua buku, rumah-rumah yang menyimpan buku, sebab buku menurut negaranya adalah sumber segala kekacauan, ketidakbahagiaan, sehingga harus dihancurkan. 

Si Anjing pemburu yang bekerja di Departemen Kebakaran dan dilengkapi jarum suntik mematikan, serta dikawal helikopter, siap melacak para pembangkang yang menentang aturan. Orang-orang yang nekat menyimpan dan membaca buku. 

Tidak ada buku. Tidak ada kitab suci. Masyarakatnya bersenang-senang dengan layar-layar besar tv tembok yang mereka sebuat 'keluarga' yang bicara lewat earphone berbentuk peluru kecil di telinga mereka sepanjang waktu dan akan minum obat jika tidak bisa tidur. 

Suatu hari, Montag bertemu Clarrise yang bicara banyak hal kepadanya. Tentang rumput, embun, warna bunga, wajah bulan, aroma daun kering, dan rasanya air hujan. Montag seolah baru sadar tentang semua itu. 

Dan ketika Clarisse memberinya pertanyaan, "Apakah kamu bahagia?" Sepanjang hidup, belum pernah ada yang bertanya itu kepada Montag. 

Novel ini berirama. Saya suka bagian-bagian pembicaraan Clarrise dan Montag. Seolah menjadi udara segar. Lalu kembali suram begitu Montag di tempat kerjanya dan bising ketika di rumah dan keluarga tembok menyala.

Rasanya pengen sudah aja bacanya. Tapi penasaran. Apalagi Montag merasa Si Anjing Pemburu terus mengintainya. 

 Hanya 200 halaman. Tapi lelah gitu bacanya. Mungkin juga karena fontnya, mungkin juga karena pengaruh isinya. Sekali lagi, meski ini novel bagus tapi sebaiknya ngga dibaca saat lelah, atau saat mood nggak enak.

Omong-omong kayak bagus deh kalau difilmkan. 

Kamis, 08 Juli 2021

[Review] GADIS MINIMARKET Novel Sayaka Murata

Dunia minimarket adalah dunia yang penuh suara. Ada denting bel pintu penanda pelanggan datang dan suara bintang televisi yang mengiklankan produk baru lewat Tv kabel toko. Ada suara sapaan karyawan toko dan bunyi pemindai kode batang. Ada gemerisik barang yang dimasukkan ke keranjang dan keletak sepatu hak tinggi yang hilir mudik. Suara-suara itu berpadu menjadi “suara minimarket” yang tidak henti-hentinya menjamah gendang telingaku.
Itu paragraf pertama di halaman pertama buku ini.


Furukura-san atau Keiko telah bekerja sambilan di minimarket selama 18 tahun. Manager toko tempatnya bekerja telah berganti delapan kali. Perkerja lainnya telah datang dan pergi.

Tetapi Keiko tetap di sana. Menjaga asupan makanan, minuman, jam tidur, agar tetap kuat bekerja dengan berdiri terus menerus. Ia menjaga penampilannya, kuku, rambut, kesehatan kulit agar ia menjadi pegawai minimarket yang baik. Pilihan-pilihan barang yang dipakainya bahkan dipuji managernya.
Semua managernya, rekan kerja dan pelanggan toko mengakui Keiko adalah pekerja yang baik. Ia tahu apa saja kebutuhan toko dan bagaimana cara menghadapi berbagai macam pelanggan.

Sejak kecil, dunia menuntut Keiko untuk menjadi normal, walau ia tidak tahu “normal” itu seperti apa. Namun di minimarket, Keiko dilahirkan dengan identitas baru sebagai “pegawai minimarket”.
Lalu ia terancam dipisahkan dari dunia yang dicintainya selama ini.

Perasaan saya sepanjang membaca buku ini, campur aduk. Tapi yang pasti saya takjub. Ini novel dengan penokohan yang kuat. Sayaka Murata, pengarangnya, benar-benar berhasil membuat saya memikirkan Keiko.

Keiko tidak melanggar undang-undang, ia tidak pernah merugikan orang lain, tidak mudah marah, meski kadang merasa beberapa orang merepotkannya. Namun orang-orang sekeliling begitu menghakimi hidupnya. Segala hal yang ada padanya dianggap aneh.

Sebagai novel yang mengambil sudut pandangan orang pertama, Keiko, tokohnya, tidak pernah menggambarkan bagaimana fisiknya, Tetapi, kita akan tahu bagaimana dia dari tokoh yang lain, yang karakternya OMG (jadi berpikir, gini ya bikin tokoh yang menyebalkan).

Membaca novel ini tuh bikin yah, berpikir, kadang memang ada orang-orang di sekitar, menganggap sebagian yang kita jalani, apa yang tidak sama dengan mereka dianggap tidak normal.

Mematikan centang biru bahkan dianggap punya masalah hidup. Hanya mengangkat telepon dari panggilan tertentu dianggap aneh dan tidak dewasa.

Seorang teman yang telah membaca novel ini mengatakan tokohnya aneh, dan saya tertawa-tawa ketika membahasnya. Tetapi setelah mengikuti sepanjang kisahnya, endingnya membuat saya lega. Dan ya, sebagai pembaca saya tidak apa-apa Keiko begitu, mengambil keputusan itu.

Oh iya, satu lagi, novel ini hawanya seperti Rumah Tepi Danau. Apakah karena pengarang keduanya sama-sama dari Jepang, sama-sama pakai pov satu, dan sama-sama menghadirkan tokoh perempuan yang memilih pekerjaan yang disukainya, bertemu cowok yang bikin pembaca degdegan, dia baik apa jahat ya? Entahlah.

Empat bintang untuk novel 159 halaman ini.


Selasa, 01 September 2020

Just One Day

Saya sering membeli buku karena pandangan pertama. Novel ini misalnya, Just One Day karya Gayle Forman terbitan Gramedia.  Pas lihat di lapak temen mbatin, wah kayaknya bagus. Lalu masuk keranjang.

Sempet agak nyesel sewaktu baca blurbnya. Jadi pas pesanan datang saya biarkan lama novel ini di rak.

Tebel pula. 399 halaman pov 1. Hoho.

Tapiiii.... kemarin saya menyelesaikan dalam satu hari ketika mematikan ponsel. 

Ini kisah Allison Healey, baru lulus SMA. Pada tur ke Eropa, ia bertemu Willem pemeran drama Shakespeare. 

Willem mengajaknya meninggalkan rombongan untuk pergi ke Paris sehari saja. Keputusan spontan membawa Allison pada petualangan dan kebebasan. Yang akhirnya mengubah banyak hal dalam dirinya. 

Ini memakan sepertiga novel. Saya jadi mikir, mungkin begini ya yang merupakan catalist cerita, sesuatu yang mengubah tokoh.

Sepertiganya lagi adalah bagimana awal-awal Allison menjadi mahasiswa. Hidup di asrama, mata kuliah, pertemanan, hubungan dengan keluarga dan masa-masa yang tak mudah lainnya, yang kembali membawanya membuat keputusan.

Nah sepertiga terakhir adalah semacam spiritual cerita. Bagian ini Gayle Forman dengan rapi mengayuh cerita tetap bergerak. Pembaca ikut merasakan ketegangan, kakhawatiran, dan ikut mencerna berbagai kemungkinan. 

Ini bukan sekadar novel remaja biasa. Bukan sekadar jalan-jalan sehari di Paris bersama orang asing. Sayang, blurbnya agak-agak mengurangi gambaran isi dari novel ini.

Ini jenis novel yang setiap settingnya menggerakkan cerita. Yang setiap bagian-bagiannya mempengaruhi dan membuat karakternya tumbuh. 

Gayle Forman dengan detail menunjukkan bagaimana cerita ini berjalan. Bukan detail yang membosankan ya. Maksud saya detail semua hal mendukung cerita. 

Saya ikut merasakan suasana di mana tokohnya berada.

Di kereta, di kapal, di pemukiman padat, di lapangan rumput, di gedung seni, di kelas Shakespeare, di meja makan dll. Semua menjadi bagian penting dari cerita.

Selain itu tokoh-tokoh pendampingnya (yang lumayan banyak) juga penting, meskipun hanya muncul sekilas.

Saya dua kali meneteskan air mata di bagian tertentu ketika ingat seseorang. 

Dan seperti biasa, saya menandai beberapa kalimat yang saya suka.

"Ada perbedaan antara jatuh cinta dan mencintai." 

"Kadang ada hal-hal kecil yang kelihatan tidak penting tapi mengubah segalanya."

"Mencari seseorang yang sudah lama hilang, mungkin bisa jadi hal yang salah. Bahkan kalau kau menemukannya, kau akan kecewa karena dia bukan orang yang selama ini kau bentuk dalam pikiranmu."

Dan setelah baca ini saya jadi pengen baca karya Gayle Forman yang lain.[]

Rabu, 01 April 2020

Rumah Tepi Danau Banana Yoshimoto


Beberapa waktu lalu, saya menyelipkan buku ini di tas belanja. Sepulang dari pasar saya mampir ke tepi selokan besar. Duduk di sana. Memotret. Cahaya sedang cemerlang. Saya suka.

Novel tipis ini saya beli ketika Mbak Renny Yulia mengunggah review di statusnya. Makasih Mbak Renny 😊

Nama Banana Yoshimoto tidak asing di ingatan. Saya pernah membaca bukunya yang berjudul Kitchen. Novel apik dengan cover simpel, bergambar panci merah.
Sejak itu, saya berusaha mencari buku Banana yang lain dan baru nemu ini setelah bertahun-tahun.

Masih seperti karya Banana yang pernah saya baca, penokohan yang kuat, setting yang detail dan gaya tutur yang tenang, seperti danau yang diselubung kabut tipis. Penceritaannya tidak tergesa-gesa. Tidak juga dengan konflik yang meledak-ledak. Bagi sebagian orang mungkin terkesan lamban. Tapi menurut saya indah dan misterius.

Novel dengan dua tokoh utama yang hadir bersama dalam satu kalimat pembuka. Dengan tokoh-tokoh lain yang penting dan menjadikan novel ini utuh.

Chihiro adalah pelukis mural. Kebiasaannya berdiri di jendela membuatnya sadar, bahwa di apartemen seberang seseorang juga selalu berdiri di depan jendela.

Nakajima, pemuda misterius yang pada suatu malam ia temukan tertidur sambil memeluk lempeng tembaga di bawah ketiaknya.

Jalinan romansa yang cenderung ragu, menyeret Chihiro pada masalalu Nakajima. Menyibak satu demi satu kenyataan mencekam yang pernah dialami pemuda cerdas itu.

Di sinilah kepiawaian Banana dalam menjahit cerita. Menyeret pembaca ke dalam nuansa mistis yang ia ciptakan. Sendu, muram tapi penuh harapan.

Ia mempercepat irama di lembar akhir, dengan panyajian yang masuk akal dari hal-hal yang dipilih tokoh-tokohnya. Haru dan lega, agak terkejut ketika menyadari berada di halaman terakhir.
Banana mengakhiri dengan sangat manis dan menyentuh.

Saya banyak memberi coretan, lipatan dan tanda di halaman-halamannya. Banyak kutipan yang menarik.

"Jika kau selalu marah, selalu berteriak pada orang lain, pada akhirnya itu berarti bahwa kau bergantung pada mereka." Halaman 10.

"Ketika kau mencintai seseorang, kau pasti penasaran, bahkan untuk hal-hal yang sangat berat bagi mereka." Halaman 65.

"Terkadang, meminta bantuan adalah cara lain untuk menunjukkan cintamu." Halaman 92.

"Beberapa hal akan tersampaikan justru ketika kau menyimpannya rapat-rapat. Perasaan tulus akan menemukan jalannya." Halaman 109.

"Kau melihat dunia melalui saringan kepekaan yang ada dalam dirimu."

151 halaman, memang tidak tebal, tapi cukup. Tak ada yang terkesan dipanjang-panjangkan atau diada-adakan. Semua yang disajikan Banana menjadi bagian yang penting dan saling mendukung.

Jika ingin bacaan yang indah, dalam dan tak mau ada isakan, saya rasa ini pilihan yang pas.

Senin, 30 Maret 2020

Ada Pertanyaan yang Dijawab oleh Waktu




"Apa kau adalah ibuku?" tanya ulat kecil kepada ulat besar.
Tak ada yang menjawab pertanyaan ulat kecil.
Tidak daun-daun.
Tidak ranting.
Tidak juga induk burung yang membangun sarang.

"Apa kau adalah ibuku?" tanya ulat kecil, kepada ulat besar, sekali lagi.

Seekor kupu-kupu terbang rendah, hinggap pelan di kelopak bunga, mendengar percakapan mereka.

"Apa kau adalah ibuku," tanya ulat kecil kepada ulat besar, sekali lagi.

"Ya, aku ibumu," jawab ulat besar dengan mata bercahaya.

Lalu mereka makan di daun yang sama. Dari sore ke sore, dari pagi ke pagi, hingga ulat besar tak mampu mengunyah lagi.

"Aku terlalu kenyang dan mengantuk."

Ulat besar tidur sepanjang hari. Pelan-pelan menyelimuti dirinya sendiri.

Ulat kecil menunggu dari matahari di timur hingga matahari di barat.
Dari bulan benjol hingga bulan bulat.

Ulat kecil berdebar ketika selimut ulat bulu besar bergetar.

"Apa Ibu sudah bangun?" tanya ulat kecil.
Tak ada jawaban. Seekor kupu-kupu terbang dari selimut yang berlubang.
Mengepakkan sayap sebentar kemudian terbang.

"Apa kau adalah ibuku?" Ulat kecil menoleh pada suara lain. Seekor ulat yang lebih kecil menatapnya.

"Tentu saja bukan," jawab ulat kecil. "Aku bukan ibumu. Ulat tidak melahirkan ulat. Tapi, ulat akan menjadi kupu-kupu. Kau, aku, ulat-ulat lain."

"Bagaimana aku bisa percaya padamu?"

"Pengalaman akan mengajarimu. Dan waktu akan menjawab pertanyaanmu."

Ulat kecil tersenyum pada ulat yang lebih kecil.

"Apa kau adalah ibuku?"
Ulat kecil dan ulat yang lebih kecil menoleh pada ulat yang lebih kecil lagi.

Ada waktu untuk sebagian pertanyaanmu, dan kadang, waktu juga akan memberimu pertanyaan baru.[]

Minggu, 19 Januari 2020

Ada Apa Dengan Kerapu Karang?



"Aku diserbu badai kemalasan. Malas ngapa-ngapain," kata Kerapu Karang dari jendela.

"Tidur. Tidur. Tidur. Itu resepnya."

Matahari sepenggalah, ketika Kepiting Sawah melewati rumah Kerapu Karang. Dari tepi jendela ia melihat sepupunya dengan penampilan acak-acakan.

"Ceritakan padaku."

"Semua mood hilang."

"Termasuk bicara denganku?"

Kerapu Karang tidak menjawab.
Kepiting Sawah duduk di tepi jendela, menunggu sepupunya bicara.

"Semoga kau segera baik-baik saja," kata Kepiting Sawah setelah lama mereka dicekam hening.

"Aku akan sedih kalau kau tidak baik-baik saja." Kepiting Sawah menatap sepupunya yang mematung.

"Kerapu Karang?"

Tak ada jawaban.

"Kerapu Karang?"

Kerapu Karang tetap diam.

"Kerapu Karang?"

Kepiting Sawah menganjur napas.

"Baiklah kalau begitu...." kata Kepiting Sawah. Ada yang terasa menyumbati tenggorokannya.
Dia menatap sepupunya sejenak, kemudian pergi dengan mata berkaca-kaca.

Sepanjang jalan ia merenungkan apa yang terjadi dengan sepupunya. Ada satu kemungkinan yang menjadi dugaannya, adalah jatuh cinta kemudian patah hati yang membuat seseorang dilanda kemalasan. Apakah itu yang terjadi dengan sepupunya?

Kepiting Sawah sekali lagi menoleh ke jendela sepupunya yang sudah jauh di belakang sana. Sejenak ia memejam sambil menghela napas panjang, sebelum akhirnya  meneruskan perjalanan pulang.[]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...