“Pergilah.
Kalau itu maumu.”
Jen
masuk ke dalam taksi seiring kalimat yang menggema di telinganya, entah yang ke
berapa ratus kali. Dia menoleh ke
halaman, menunggu seseorang mengejarnya. Menatap pintu rumah yang tadi dirapatkan,
dan tidak ada tanda-tanda akan terbuka dari dalam.
Pada
akhirnya, aku benar-benar pergi. Kata Jen dalam hati. Sebelas jam dari
percakapan pendek di meja makan semalam.
Boa
pulang jam satu dini hari, mengejutkan Jen yang tertidur di atas tumpukan buku
bersama laptop menyala di sampingnya. Dua kali dua puluh empat jam ponselnya
tak bisa menghubungi Boa. Itu bukan untuk yang pertama kalinya, dan Boa sama
sekali tak mau memberi penjelasan apapun.
“Kau benar-benar berubah Boa!” Jen meledak.
“Kau
yang berubah, Jen!”
Seperti
ada yang menghantam dada Jen. Boa menyahut dengan nada yang lebih tinggi.
Tumpukan buku di meja sampai merosot bersama gebrakan tangan Boa di atas meja.
Lalu
hening. Mereka sama-sama tak bicara. Jen merapatkan gigi-giginya.
Tenggorokannya sakit, sekuat tenaga
menahan agar tak ada setetes air matapun yang jatuh. Jen masih berharap Boa
minta maaf, memberi penjelasan kalau dia tak sengaja, sedang emosi, atau
apapun, lalu merentangkan tangan dan membawa kepala Jen ke pelukannya. Seperti
dulu, setiap kali mereka berselisih paham.
Dulu?
Ah, rasanya itu sudah lama sekali. Jen bahkan tak bisa mengingat kapan hubungan
mereka mulai renggang. Kapan Boa berubah memanggil namanya; “Jen”, dari panggilan
Dear, Doben, Amor, Love.
Dan
semua itu membulatkan keputusan Jen, yang telah berkali-kali disampaikan pada
Boa, bahwa lebih baik dia pergi. Mereka berpisah, daripada bersama tapi saling
menyakiti. Lalu, sama sekali di luar dugaan Jen, kalau pada akhirnya Boa memberi
izin. Melepaskan Jen.
“Pergilah.
Kalau itu maumu.”
Ketika
mereka sama-sama berdiri dan meninggalkan meja makan, Jen tahu apa yang harus
dilakukan. Dia mulai mengemasi barang-barangnya. Memasukkan ke kardus-kardus
dan menulis alamat. Jen akan mengirim barang-barangnya lewat correios,
agar tak terlalu banyak bawaan.
Jen
sadar, masih akan menjalani proses jika benar-benar berpisahan dengan Boa. Tapi
dia berpikir, kembali ke rumah itu lagi rasanya tidak mungkin. Terlalu banyak
kenangan. Dan dia tak mau tercekik oleh ingatan-ingatannya sendiri.
Hampir
jam delapan pagi, ketika Jen selesai berkemas. Dia mendengar Boa bangun dan
masuk kamar mandi. Jen melirik dapur dan
dia memutuskan untuk tidak menyalakan kompor, meski sekadar menyeduh teh panas.
Mereka tak saling bicara. Ketika Boa bersiap ke kantor, Jen menghindar ke kamar
mandi. Dan begitu selesai, Boa sudah tak ada. Lelaki itu pergi tanpa pamit kepadanya.
Jangan menangis! Jen
mengingatkan dirinya sendiri. Dia menegakkan pundak ketika membawa
barang-barang ke correios.
Sekali lagi kembali ke rumah, mengambil kopornya, dan kini Jen berada di dalam
taksi, menyusuri jalan padat kota Dili.
Rasanya
baru kemarin, tangannya berada dalam genggaman Boa ketika rusuh referendum 1999.
Mereka berlari ke kamp pengungsian. Tak hentinya air mata Jen tumpah di dada
Boa. Mereka baru menikah beberapa hari ketika itu. Orangtua Jen yang pro integrasi
tak bisa lagi bertahan lebih lama. Jen berdiri di persimpangan antara orangtua
dan cintanya pada Boa.
“Kau
sudah punya dunia sendiri. Tanggungjawab ayah terhadapmu telah berpindah kepada
Boa.” Ayah Jen memeluknya, memberi kekuatan.
“Saya
berjanji, akan menjaga Jen sampai mati. Tak akan meninggalkan hingga ke ujung
dunia sekalipun.” Kalimat Boa saat itu memang terkesan berlebihan, tapi Jen
tahu Boa mengucapkan dengan sungguh-sungguh.
Nyatanya
waktu begitu saja mengubah segalanya. Dia bangga ketika Lorosae bangkit dengan
cepat. Bangunan-bangunan dan fasilitas umum yang rusak segera diperbaiki. Bahkan
Timor benar-benar bersolek menjadi wajah baru. Marka-marka jalan yang roboh
kembali berdiri, dan seperti duagaan banyak orang, tak ada lagi nama-nama jalan
berbahasa Indonesia. Semua memakai bahasa yang awalnya membuat lidah Jen dan
Boa seakan keseleo setiap kali mengucapkan.
“Coqueiros, Doben.” Begitu
cara Boa mengingatkan, setiap Jen salah mengeja.
Sebagai penulis lepas, bahasa menjadi
hal paling penting dalam hidup Jen. Tahun-tahun pasca kemerdekaan, Jen banyak
menulis cerpen-cerpen dan puisi bertema kedamaian. Boa tahu benar, Jen sudah
mencintai menulis sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku SMA.
Maka,
ketika beberapa kali nama Jen muncul di halaman-halaman fiksi surat kabar Timor
Leste, tulisan Jen biasanya sudah lolos dari koreksi Boa.
“Ini
salah, Doben. Bagian ini kurang pas, Amor. Endingnya tidak bagus, Dear.
Mungkin sebaiknya begini, Honey…”
Jen
ikhlas segala bentuk tanggapan dan koreksi Boa. Dan itu membuatnya belajar
keras untuk lebih baik. Jen janji tidak akan merepotkan Boa untuk hal-hal
semacam itu.
Seiring
waktu, dan pekerjaan Boa yang harus sering pergi ke daerah-daerah, pada
akhirnya Jen memang semakin jarang melibatkan Boa dalam tulisan-tulisannya.
Dulu,
sebelum komunikasi semudah saat ini, Jen seringkali menulis surat-surat kecil untuk
Boa, jika lelaki itu pergi ke daerah. Jen seringkali menyelipkan di saku kemeja
Boa, atau memasukkan ke dalam tas. Bukan berisi kata-kata panjang, kadang Jen
hanya menulis;
“Hari ini berapa kali
kamu ingat aku?” atau “Apakah kau membawa separuh hatiku di dalam sakumu?”
Jen
menggigit bibir. Apakah Boa mengingat semua itu? Mungkin tidak. Jen paham benar
lelaki itu mudah lupa, lebih tepatnya tidak suka mengingat hal-hal yang telah berlalu. Bagi Boa, yang
sudah terjadi ya sudah. Sementara Jen, selalu mengingat hal-hal kecil, detail
bahkan yang sepele.
Dan
hal-hal seperti itulah yang membuat tulisan Jen berwarna. Dia yang lebih sering
menulis cerpen dan puisi romance, hampir semuanya melibatkan perasaannya
terhadap Boa.
Jika kau menjauh satu
langkah dariku,
Aku juga akan menjauh
satu langkah darimu
“Aku tidak mau lagi melihat
kata-kata seperti ini!” Boa langsung menanggapi status media sosial Jen yang
hanya disetting untuk mereka berdua. “Kamu semakin aneh akhir-akhir ini!”
“Kau tidak tahu ya, kekhawatiranku
padamu seakan mencekikku?”
“Berpikir positif, ok.”
Jen bukan tak pernah mencoba. Tapi
seringkali kekhawatiran akan keselamatan Boa justru berubah menjadi kecurigaan,
apakah hati Boa baik-baik saja?
Hati? Sesungguhnya itulah yang
menghantui Jen akhir-akhir ini. Ketika Boa seringkali terlambat pulang dan
mengatakan keluar bersama teman. Atau
mendadak ada pekerjaan. Atau ada urusan sangat penting yang harus
diselesaikan.
“Jadi
aku ini tidak penting ya?”
“Ya
Tuhan. Jen, kenapa kau begitu aneh? Kenapa kau tidak mengerti juga?”
Tahukah Boa, bahwa Jen sudah
setengah mati mencoba mengerti? Jen bahkan mengambil kesimpulan, sebenarnya dia
yang tak bisa memahami atau Boa yang tak mau dipahami?
Jen menghela napas panjang. Taksi
telah jauh berjalan. Kini menyusuri ruas Praia dos Coqueiros
di sepanjang pantai Kelapa. Dia melongok ke kafe Ermera, kafe sahabatnya. Jen
lupa, kapan terakhir ke sana bersama Boa. Dulu mereka sering sarapan di sana. Jen
menyukai obrolan pagi bersama Boa sambil menghabiskan secangkir teh panas dan paun isi sarikaya. Biasanya Boa langsung
berangkat ke kantor. Sementara Jen, mengetik di sana hingga hari menjelang
siang.
Jen kembali menghela napas panjang
begitu taksi memasuki bandara. Pesawat masih satu jam lagi. Jen mengambil
ponsel, memasang headset dan memilih saluran radio. Mendengar penyiar dengan
bahasa Tetun dan Porto seperti itu,entah mengapa dia justru teringat bagaimana
RRI terakhir kali mengudara di Dili. Saat itu air matanya meleleh. Bahkan masih
seseunggukan ketika saluran radio di hadapannya hanya mendesis.
Ketika itu Boa membawa ke pelukannya,
dan mengatakan kalau semua akan baik-baik. Tapi barangkali Boa memang telah
lupa, setelah sekian tahun berlalu, justru mereka berdua yang tak baik-baik
saja.
Beberapa menit kemudian, Jen berjalan
menuju pesawat sambil memandang ujung sepatunya. Sekuat tenaga dia bertahan
agar tak menoleh ke belakang. Keputusannya sudah bulat. Dia yakin ini yang
terbaik.
“Seat belt, Doben.”
Suara
itu tepat berasal dari belakangnya. Jen menoleh, dan dia mendapati seorang
lelaki memasang sabuk pengaman untuk gadis di sampingnya. Jen ingat, dulu, Boa
juga mengatakan seperti itu, ketika pertama kali mereka naik pesawat.
Jen
memasang sabuk pengamannya, kemudian matanya terpejam. Begitu pesawat
mengangkasa meninggalkan Dili, dia berucap dalam hati. “Selamat tinggal Lorosae,
tanah yang menumbuhkan kata-kata.”
Sepanjang penerbangan, pikiran Jen
dihinggapi berbagai pertanyaan. Apakah setelah ini Jen masih akan menulis
tentang Boa? Dia tidak tahu. Jen justru merasa, dialah penulis yang terluka
oleh tokohnya sendiri.
***
Gerimis menyambut ketika pesawat tiba di
Jakarta. Musim di Indonesia dan Timor Leste memang nyaris sama. Jen mendorong
troli, berjalan di antara orang-orang berbahasa Indonesia. Tiba-tiba dia
menyadari bahwa tak ada yang menjemputnya. Ayah, mama, adiknya, tak ada satupun
dari mereka yang tahu dia akan pulang. Untuk pertama kalinya, Jen merasa sendiri dan kesepian di tengah
keramaian.
“Doben!”
Langkah Jen terhenti. Suara itu, membuat
matanya tiba-tiba memanas.
“Aku memang sibuk akhir-akhir ini Doben. Tapi janji untuk terus menjagamu
hingga ke ujung dunia itu, sudah seperti udara. Tanpanya, aku tak bisa hidup.” Boa
berdiri di samping Jen. Mengambil alih troli dan menatap ke dalam mata Jen yang
berkaca-kaca.[]
Sidoarjo, penghujung Januari yang
penuh hujan 2015
Waah suka banget ceritanya mba, 😊 salam kenal dari Rahayu Samarinda
BalasHapushmmmmm speechless
BalasHapusamazing story
Waiting to read Esperanca