Senin, 25 September 2017

Surat dari Marini




            Lelaki itu, lelaki dengan kemeja kumal yang beraroma laut. duduk di buritan, membiarkan perahunya dipermainkan ombak. Ia mengambil surat kumal dari sakunya, membuka pelan dan mulai membacanya.
            Tanjung yang baik.
Subuh masih lama saat kutulis surat ini. Di luar, suara pukulan pada tiang listrik  terdengar dua kali. Tapi aku sudah terjaga sejak kentongan berbunyi dua belas kali disusul  kokok ayam jantan  ibu kos yang terkantuk-kantuk.
Pertama-tama, aku…sungguh minta maaf, perihal suratku. Mungkin saat kau membacanya, aku sudah berada dalam bis, meninggalkan kota ini. Aku pulang ke desa. Bapak yang menyuruhku, dan aku tak bisa menolak.
Kau tahu bukan, satu-satunya alasan kenapa aku masih bertahan di kota ini, adalah kau. Jika akhirnya aku pergi, ya, alasan itu sudah tak kuat lagi kujadikan sebagai pegangan.
Lalu, perihal lamaranmu itu…
Seperti juga yang pernah kukatakan dulu. Aku sudah bicara dengan orangtuaku. Bapak tidak bertanya seberapa luas sawah ladangmu. Bapak tidak bertanya, dari keturunan mana kedua orangtuamu. Keluargaku, sebagaimana yang kuceritakan kepadamu, adalah orang-orang yang tidak mempermasalahkan hal-hal seperti itu.
Bagi bapak, mempunyai anak gadis laksana meletakkan satu kaki di syurga dan satu kaki di atas neraka.Tak mudah  menyerahkan tanggung jawab perihal anak gadisnya, pada orang yang tak pernah dikenalnya. Jadi, begitu kukatakan aku dekat dengan seseorang, bapak menginginkan pertemuan. Bapak ingin membuktikan kesungguhanmu, Dia memintamu datang. Agar kau lihat sendiri bagaimana keluarga kami. Agar tak ada penyesalan di kemudian hari.
Namun, jawaban apa yang aku dapatkan? Kau, justru memberikan puisimu, agar aku sabar menunggumu. Kalimat-kalimat sama, yang kadangkala sulit kupahami maknanya.
Sehingga semakin ke sini, aku semakin menyadari. Barangkali orangtuaku benar. Kau tak pernah sungguh-sungguh terhadap aku. Kau hanya sosok yang berupa kata-kata. Bagaimana aku dapat bertahan dengan cinta yang hanya menjelma sebagai sajak-sajak saja?
Sesungguhnya, aku masih ingin percaya padamu, Tanjung. Masih ingin berada di kota kecil ini, menjaga toko buku dan lapak koran, lalu melihatmu berteriak, “Puisiku dimuat!” Tapi, kupikir semua sudah cukup.
Kejarlah impianmu. Penghargaan-penghargaan yang kau impikan. Ke Ubud. Khatulistiwa. DKJ. Apalagi? Kau tak perlu terbebani untuk datang kepadaku. Aku juga tidak akan berjanji untuk menunggumu. Kau dan aku, sebaiknya selesai hingga di sini saja.
Salam
Marini

Ada yang  bergemuruh di dada lelaki itu. Lalu ledakan perasaan menimbulkan rasa panas sekaligus nyeri yang menjalari tubuhnya. Lelaki itu meremas surat di tangan kemudian memasukkan ke dalam saku kemeja.




*Potongan surat Marini dari cerpen Surat Kumal di Saku Kemeja Tabloid Nova 2015
*Gambara dari pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...