Lelaki itu, lelaki dengan kemeja
kumal yang beraroma laut. duduk di buritan, membiarkan perahunya dipermainkan
ombak. Ia mengambil surat kumal dari sakunya, membuka pelan dan mulai
membacanya.
Tanjung yang
baik.
Subuh masih lama
saat kutulis surat ini. Di luar, suara pukulan pada tiang listrik terdengar dua kali. Tapi aku sudah terjaga
sejak kentongan berbunyi dua belas kali disusul
kokok ayam jantan ibu kos yang
terkantuk-kantuk.
Pertama-tama, aku…sungguh
minta maaf, perihal suratku. Mungkin saat kau membacanya, aku sudah berada
dalam bis, meninggalkan kota ini. Aku pulang ke desa. Bapak yang menyuruhku,
dan aku tak bisa menolak.
Kau tahu bukan,
satu-satunya alasan kenapa aku masih bertahan di kota ini, adalah kau. Jika
akhirnya aku pergi, ya, alasan itu sudah tak kuat lagi kujadikan sebagai
pegangan.
Lalu, perihal
lamaranmu itu…
Seperti juga
yang pernah kukatakan dulu. Aku sudah bicara dengan orangtuaku. Bapak tidak
bertanya seberapa luas sawah ladangmu. Bapak tidak bertanya, dari keturunan
mana kedua orangtuamu. Keluargaku, sebagaimana yang kuceritakan kepadamu,
adalah orang-orang yang tidak mempermasalahkan hal-hal seperti itu.
Bagi bapak,
mempunyai anak gadis laksana meletakkan satu kaki di syurga dan satu kaki di
atas neraka.Tak mudah menyerahkan
tanggung jawab perihal anak gadisnya, pada orang yang tak pernah dikenalnya.
Jadi, begitu kukatakan aku dekat dengan seseorang, bapak menginginkan pertemuan.
Bapak ingin membuktikan kesungguhanmu, Dia memintamu datang. Agar kau lihat
sendiri bagaimana keluarga kami. Agar tak ada penyesalan di kemudian hari.
Namun, jawaban
apa yang aku dapatkan? Kau, justru memberikan puisimu, agar aku sabar
menunggumu. Kalimat-kalimat sama, yang kadangkala sulit kupahami maknanya.
Sehingga semakin
ke sini, aku semakin menyadari. Barangkali orangtuaku benar. Kau tak pernah
sungguh-sungguh terhadap aku. Kau hanya sosok yang berupa kata-kata. Bagaimana
aku dapat bertahan dengan cinta yang hanya menjelma sebagai sajak-sajak saja?
Sesungguhnya,
aku masih ingin percaya padamu, Tanjung. Masih ingin berada di kota kecil ini,
menjaga toko buku dan lapak koran, lalu melihatmu berteriak, “Puisiku dimuat!” Tapi,
kupikir semua sudah cukup.
Kejarlah
impianmu. Penghargaan-penghargaan yang kau impikan. Ke Ubud. Khatulistiwa. DKJ.
Apalagi? Kau tak perlu terbebani untuk datang kepadaku. Aku juga tidak akan berjanji
untuk menunggumu. Kau dan aku, sebaiknya selesai hingga di sini saja.
Salam
Marini
Ada yang
bergemuruh di dada lelaki itu. Lalu ledakan perasaan menimbulkan rasa
panas sekaligus nyeri yang menjalari tubuhnya. Lelaki itu meremas surat di
tangan kemudian memasukkan ke dalam saku kemeja.
*Potongan surat Marini dari cerpen Surat Kumal di Saku Kemeja Tabloid Nova 2015
*Gambara dari pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar