Kamis, 01 Maret 2018

Sepotong Alasan [Cerpen Minggu Pagi 23 Februari 2018




“Bisa minta tolong mengetikkan cerpenku?” Jantung Al bertalu-talu, ketika dia berhasil menghentikan Herdi. 
Cowok itu menahan langkah dan menatap Al dari balik kacamatanya yang berpendar keunguan. Dia menarik salah satu sudut bibirnya. Dan tanpa menjawab apapun berjalan menjauh.
“Nanti biayanya aku ganti.” Al mengejar masuk kelas, berhenti di meja guru, tepat di depan bangku Herdi. “Bisa?”
“Tidak mau. Ngetik saja sendiri.”
“Aku tidak punya laptop.”
“Di lab ada komputer. Di rental, banyak.”
Saat itu, Al sadar, telah melakukan hal paling bodoh. Dia mencatat dengan tinta api dalam ingatannya, menjadi satu pelajaran penting:  jangan pernah mendekati seorang cowok dengan meminta tolong. 
Mungkin Al memang salah mengartikan kedekatan mereka selama ini. Obrolan-obrolan saat istirahat. Senyuman yang dilemparkan Herdi kepadanya di tengah jam pelajaran. Dan tumpangan yang diberikan saat pulang sekolah. Itu pun, Al yang meminta karena sedang ‘dapat’ dan dia sakit perut nyaris tak bisa jalan.
Tapi di sisi lain Al tahu, kenapa dia melakukan hal itu. Berkali-kali Al mengatakan pada dirinya sendiri, bahwa dia bukan pe-de-ka-te untuk mendapatkan cinta Herdi. Gadis itu cukup tahu diri, siapa dia dan  siapa Herdi.
Cowok itu, punya segala hal yang membuat terlihat sempurna. Sementara Al sering kali menjadi seperti persona non grata. Mungkin berlebihan kalau dia bilang orang-orang terbuang. Maksudnya segala cara yang  Al lakukan tidak mudah untuk membuat orang menoleh tentang keberadaannya.
Kalau saja beberapa hari sebelumnya gadis itu tidak membaca artikel Herdi di jurnal kotanya, mungkin dia tak pernah berpikir apapun untuk memulai percakapan dengan cowok itu. Tapi, Al merasa harus bicara. Karena dia dan cowok itu puya sisi kesamaan yang mungkin tidak dimiliki oleh anak-anak di kelasnya. Menulis.
“Hei, aku membaca tulisanmu di Jurnal Minggu kemarin.”
Begitulah cara Al menyapa Herdi. Betapa memalukan setiap mengenangnya. Andai ada yang tahu, kalau dia hanya pura-pura membenahi telapak meja di meja guru saat itu.
“Bagus lho.” Puji Al.
“Owh.”  Herdi menanggapi dengan sebelah bibir sedikit ditarik.
“Beneran.”
Al tidak ingat pasti, apakah anak-anak di kelasnya memperhatikan mereka. Percakapan itu, terhenti begitu saja. Tapi esoknya, Al menunggu Herdi di gerbang sekolah, dan memberikan sebuah majalah remaja.
“Ada lomba menulis cerpen, kamu mau ikut?”
“Wah,” Demi Tuhan, Batin Al, itu pertama kalinya dia melihat Herdi menatapnya dengan berbinar.  “Boleh-boleh.”
Al sangat lega ketika Herdi menerima majalah itu. Untuk pertama kalinya cowok itu  terlihat antusias menanggapinya. Al tidak punya dua memang, tapi dia sudah menyalin semua pengumumannya.
Lalu, hari-hari selanjutkan Al dan Herdi lebih sering bicara tentang tulisan yang akan mereka buat. Bahkan beberapa anak mulia curiga antara Al dan Herdi ada apa-apa.

Hingga akhirnya Herdi mengatakan kalau sudah selesai menulis, bahkan sudah dikirim. Itulah sebabnya Al memberanikan diri untuk minta tolong mengetikkan. Namun ternyata, penolakan yang dia dapatkan.
Kecewa? Jangan ditanya. Tapi penyesalannya berkali-kali lipat  daripada kecewanya. Al menyesal karena merasa telah merendahkan diri dengan minta tolong kepada Herdi.  Gadis itu mengira, setelah memberi majalah dan info lomba itu, Herdi berbaik hati membalas apa yang dialakukan.
Ternyata Al salah.  Dia memberi dengan pamrih, mengharap balasan. Meski sebenarnya, alasan yang sesungguhnya adalah karena dia tidak punya laptop. Padahal Al tidak meminta tolong secara gratis. Al bersedia membayar. Istilahnya mengetikkan tulisan, semacam itulah. Tapi, kenyataan memang tak seindah yang Al kira. Herdi tidak mau. Titik.
Jadi, Al pergi ke rental dan mengetik sendiri naskahnya. Dia akan membuktikan bahwa tanpa Herdi pun, dia bisa.
***
            “Al!”
            Al mengibaskan tangan Herdi yang menyentuh pergelangannya. Gadis itu mengangkat dagu dan menatap Herdi dengan tajam.
            “Aku minta maaf, Al.”
            Ada yang terasa meledak di dada Al. Setelah upacara Bendera tadi pagi, Herdi dipanggil tampil di depan, untuk mendapat penghargaan dari sekolah atas keberhasilannya menyabet gelar juara tiga menulis cerpen tingkat nasional. Prestasi menulis pertama sepanjang sejarah sekolah mereka.
            Seharusnya, Al ikut bertepuk tangan gembira dan mengucapkan selamat, jika saja cerpen Herdi tidak sama persis dengan ide, plot, alur, pembuka hingga ending miliknya, yang mereka obrolkan selama ini. Herdi hanya mengganti nama tokohnya saja.
            “Kamu berhak semua uang hadiah itu,” kata Herdi. “Kamu tahu kan, aku tidak kekurangan uang saku. Aku hanya ingin mencatat sejarah untuk dikenang, sebelum aku meninggalkan sekolah ini.”
            Al menegakkan bahu. Dagunya terangkat.
“Aku akan mengenangmu, sebagai penikam pertama dalam sejarah hidupku.”
            Al berbalik, berjalan meninggalkan Herdi.
“Al!”
Gadis itu sadar dia memang kalah. Karena, meski semua hal sama, jika naskahnya lebih baik dari Herdi, pasti dia yang akan menang. Tetapi, tetap saja, ada gumpalan dalam dada Al yang siap meledak. Kenapa Herdi setega itu. Mengambil ide, plot, alur darinya. Hanya demi mengekalkan namanya di sekolah mereka.
Pandangan Al buram. Gadis itu mengusap matanya dengan kasar. Dia tak ingin menangis.
Di rumah, Al kembali membuka majalahnya. Dia baca baik-baik catatan dari dewan juri. Al mematung ketika sampai pada kalimat:
Ada beberapa naskah yang terpaksa harus kami singkirkan sejak awal, karena tidak memenuhi persyaratan. Diantaranya, naskah-naskah yang datang melewati dead line yang ditetapkan, halaman kurang  atau kelebihan, dan tentu saja yang tidak menyertakan kupon lomba.
 “Kupon? Kupon apa?”
“Jadi…”
Al membungkan mulutnya. Sekarang dia tahu. Naskahnya tidak pernah sampai di tangan juri karena sudah tersingkir sejak awal.
Al hanya punya satu majalah, itu artinya Al hanya punya satu kupon dan itu dipakai Herdi.
“Kenapa aku bisa melupakan hal sepenting itu?”
Al menatap majalah di depannya dengan linangan air mata. Sesaat dia mendapatkan ide akan mengirim naskahnya untuk pemuatan biasa. Ya, gadis itu akan membuktikan bahwa naskahnya juga layak sampai ke meja redaksi.
Namun, semangat itu, mendadak meluap. Bagaimana pun juga, kelak naskahnya akan dianggap meniru naskah Herdi yang sudah menjadi juara itu. Karena ide, plot, alur yang semua sama.
Al diam, ada yang perih di dasar hatinya. Kali ini dia mengaku kalah. Tetapi gadis itu berharap, suatu hari kelak, dia akan berterima kasih, pada luka hari ini.[] 

*Untuk yang mau kirim cerpen ke Minggu Pagi, alamatnya: we_rock_we_rock@yahoo.co.id
Minggu tidak menulis nama pena saat dimuat. Honor dikirim via wesel :)

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...